Kamis, 25 Oktober 2012

Evolusi transportasi, mengakibatkan Becak di Makassar terancam punah


Matahari terik cukup membakar kulit para pengayuh becak. Peluhnya mulai mengalir dari ujung pelipis hingga ke dagu. Baju yg ia kenakan pun mulai basah karena keringatnya yang membanjir. Siang itu sy memutuskan untuk tidak membawa kendaraan sendiri dan lebih memilih menaiki becak ke rumah my panda. Pikiran saya mulai ter flashback bebrapa tahun yang lalu, becak merupakan langganan saya untuk ke sekolah. Sejak TK hingga saya berada di bangku SMP. 

Begitu menyenangkan memang saat bisa menaiki sebuah becak, ketika hujan becak tertutupi dgn plastic. Sehingga kita sebagai penumpang tidak basah. Tp, terkadang sy melarang tukang becak (tubek) untuk menutup bagian depan becaknya dgn plastic. Sy begitu mnikmati saat hujan turun kala itu. Hmm, the past is the impossible think to review.
Well, lnjut crita ketika di perjalanan. Becak yg saya tumpangi ini berpapasan dgn beberapa bentor . ( bentor ini merupakan hasil evolusi dari becak yg di rakit dengan sepeda motor. Itulah awalnya orang menyebutnya bentor alias becak motor). Tubek itu di sapa oleh tukang bentor yg di lewatinya, ataupun sdikit bercerita dgn suara yng lumayan dikeraskan karena mereka sudah saling berlalu. Ketika suara riuh bentor itu tak lagi terdengar oleh indra pendengaran ini, si tubek mulai bercerita. 
becak motor (bentor)

Mulanya hasil pencaharian dari tukang bentor memang menjadi seorang tukang becak, tp seiring berjalannya waktu , bentor mulai muncul di permukaan tanah daeng ini. Waktu semakin berputar , bentor pun mulai membanjir. Apalagi tarif utk bentor ini agak sedikit lebih tinggi di banding tariff angkutan becak. Sehingga mengubah paradigma para tubek utk mendpatkan uang lbih banyak yaitu dgn menarik bentor, apalagi orang-orang lebih minat terhadap bentor di banding becak. Intensitas peminat dari becak pun berkurang dgn drastic. Termasuk si tubek yg becaknya saya tumpangi kali ini, “bentor jai memang nigappa doek si allo. punna becaka paling jai mi njo ta’ 30 sa’bu.  mingka punna erok tongki ngerang bentor nampa teai kalekalenta pata, si ke’de tonji “ ungkapnya dalam bahasa makassar, yg kurang lebih maksudnya seperti ini " menarik bentor memng mendapat uang yang kebih banayk dalam sehari dibanding hmenarik becak. Kalau menarik becak kemungkinan upah seharian yang diperoleh sekitar 30rb.namun,jika ingin menarik bentor tapi bukan milik pribadi itu sama saja menghasilkan upah yang sedikit."

Kemudian ia melanjutkna curahan hatinya "Sekarang itu banyak sekali tukang bentor sebenarnya tidak tau bawa motor. Krna kan roda tiga ji. Baru banyak tong  itu tukang bentor tidak lengkap surat-suratnya, itu biasa klo ada sweeping polisi, baru tidak lengkap ki surat2ka ededeh biasa 400rb keluar uang. Baru penghasilan ka tidak banyak begitu ji.”
Sesekali sy hanya mengangguk ataupun menyela ppembicaraannya dgn kata “iya daeng?” hanya utnk memastikan realitanya. Si tubek pun semakin antusias bercerita.
ada tong itu di kota sana, itue yg calon walikota yya sekarang yang banyak tong pendukung nna. “ seru si tubek ini “kenapai daeng?” saya bertanya dgn penuh penasaran  itu siapakah lagi namanya i.. R**AL , iya njo mi klo di beli bede’ sticker kampanye na baru di tempel ki di bentor ka,supaya tidak na tilang ki polisi ya,”imbuhnya, kemudian dia menambahkan  tapi pernah tong ada tman ku na beli tommi itu sticker ka, eh di tilang tonji baru mahal na tong itu ta’ 100rb satu. Byangkan mi klo kiri kananx itu bentor di tempelkan sticker na 200rb memangmi kluar uang ,habis di situ ji uanga.”
(Jadi, si tubek tadi bercerita.. Bahwa ada calon walikota yang memiliki banyak pendukung, namanya r**al klo mereka yang tukan bentor membeli stiker kampanye seharga 100rb/pcs , itu tidak akan ditilang oleh polisi. Dan katanya coba bayangkan jika harus ditempelkan dibagian sisi kiri dan kanan dari bentor , uang yg harus dikeluarkan 200rb. Uang yang diperoleh akan habis disitu. Padahal katanya, sang tubek ini punya teman yang sudah membeli stiker tersebut dengan iming2 tdk ditilang oleh polisi ternyata ditilang juga akhirnya)

Saya mulai bertanya-tanya , apa iyah org2 “besar” itu tega berkempanye dgn seperti itu. Fikiranku mulai menerawang, dan sudah tidak begitu focus mendengarkan curhatan si tubek ini. kehidupan ini memang terkadang begitu kejam untuk sebagian org . hfft
tak terasa saya sudah hampir sampai di tempat tujuan . dan tak lagi saya mendengar cerita hidup dari si tubek ini. hening tercipta di antra kami hanya terdengar suara kendaraan bermotor dan para pedagang keliling.
tapi, biar siapa juga nanti jadi pemimpin, ka saya tetapja jadi tukang becak”
dan itulah kalimat terakhirnya sesaat sebelum saya turun dan membayar jasanya. Yang menurutnya (siapapun yang akan jadi pemimpin kelak, saya tetap jadi tukang becak)